TintaSiyasi.id -- Ada dua pandangan dalam masalah ini, yaitu dalam masalah puasa hari Arafah, apakah puasa ini terkait dengan waktu atau tempat? Kedua pandangan tersebut adalah:
Pandangan pertama, pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-- yang berpendapat bahwa yang menjadi acuan adalah rukyatul hilal (melihat hilal) di setiap negeri secara mutlak dan tidak memperhatikan apakah hari itu jamaah haji sedang berwukuf di Arafah. Maka, puasa Arafah disyariatkan pada hari kesembilan Dzulhijjah berdasarkan rukyatul hilal di setiap-tiap negeri, meskipun tidak sesuai dengan hari ketika jamaah haji sedang berwukuf di Arafah. Singkatnya, puasa hari Arafah terkait dengan waktu, bukan tempat.
Pandangan kedua, pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi), yang berpendapat bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika jamaah haji berwukuf di Padang Arafah. Al-Lajnah Al-Dā`imah menganggap ada makna yang jelas dari idhāfat (penyandaran kata shaum pada kata Arafah) yang terdapat pada teks hadits, dan menganggap ada makna yang disyariatkan untuk puasa dikarenakan idhāfat tersebut. Al-Lajnah Al-Dā`imah juga menganggap bahwa makna-makna ini lebih khusus (spesifik) dibandingkan rukyatul hilal dalam semua hukum-hukum syara’. Makna khusus ini membawa makna tambahan (yaitu puasa Arafah terkait tempat wukuf di Padang Arafah) dibandingkan makna umum (yaitu puasa Arafah terkait dengan tanggal/hari berdasarkan rukyatul hilal). Singkatnya, puasa hari Arafah terkait dengan tempat, bukan waktu.
Adapun pendapat saya dalam masalah ini, bahwa puasa hari Arafah tidak hanya terkait dengan waktu saja, dan tidak hanya terkait dengan tempat saja, tetapi puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal berikut ini secara bersamaan, yaitu: waktu, tempat, dan aktivitas. Yang dimaksud dengan waktu, adalah tanggal kesembilan Dzulhijjah, yang dimaksud *tempat*, adalah Padang Arafah, dan yang dimaksud aktivitas adalah wukufnya para jamaah haji di Padang Arafah.
Adapun dalil bahwa puasa hari Arafah terkait dengan waktu, adalah hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mengaitkan puasa hari Arafah dengan waktu, yaitu tanggal kesembilan bulan Dzulhijjah. Imam An-Nasa’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari beberapa istri Nabi ﷺ bahwa :
«أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كاَنَ يَصُوْمُ تِسْعاً مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عاَشُوْراَء، وَثَلَاثَةَ أَياَّمٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ: أَوَّلُ اثْنَيْنِ مِنَ الشَهْرِ، وَخَمِيْسَيْنِ »
“Bahwa Rasulullah ﷺ berpuasa sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, hari Asyura, dan tiga hari setiap bulan: hari Senin pertama dari setiap bulan, dan dua hari Kamis.” (HR. An-Nasa’i, _Sunan An-Nasa’i,_ Bab Shaum: Bab Bagaimana Cara Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan, Juz IV, hlm. 220).
Al-Khursyi berkata dalam syarahnya atas Mukhtashar Khalil ketika terdapat kata (عرفة) dan kata (عاشوراء) :
وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعُ الْوُقُوْفِ؛ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنُهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَراَدَ بِعاَشُوْرَاءَ الْيَوْمُ الْعاَشِرُ مِنَ الْمُحَرَّمِ
“Yang dimaksud dengan Arafah bukan tempat wukufnya; tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah, dan yang dimaksud dengan ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (_Syarah Mukhtashar Khalil_ oleh Al-Khursyi, Juz II, hlm. 234). (lihat : (https://islamanar.com/araffa-day/).
Adapun dalil yang menunjukkan keterkaitan puasa hari Arafah dengan *tempat*, yakni di Padang Arafah, adalah hadits yang jelas dalam sabda Nabi ﷺ :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, dan puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 1162).
Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi) mengatakan :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ » فَهُوَ نَصٌّ فَيِ إِضاَفَةِ الصَّوِمِ إِلىَ الْيَوْمِ وَلَمْ يَقُلِ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ »، مِمَّا يَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِيْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الذِّيْ يَجْتَمِعُ الناَّسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ، وَلَيْسَ الْيْومَ التاَّسِعَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ. وَلِذَلِكَ مَنْ صاَمَ يَوْمَ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَلَمْ يَكُنْ يَواَفِقُ الْيَوْمَ الَّذِيْ يَجْتَمِعُ الناَسُ فِيْهِ بِعَرَفَةَ فَإِنَّهُ حِيْنَئِذٍ لَمْ يَصُمْ يَوْمَ عَرَفَةَ الَّذِيْ جاَءَ النَّصُّ بِالْحَثِّ عَلَيْهِ.
“Bahwa Nabi ﷺ berkata,“Puasa hari Arafah,” (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ) ini adalah teks mengenai adanya idhafat (penyandaran) kata shaum (puasa) pada kata yaum (hari), dan Nabi ﷺ tidak pernah berkata: “Puasa hari kesembilan,” (صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ), yang menunjukkan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari _(yaum)_ ketika orang berwukuf di Padang Arafah, bukan hari kesembilan dari Dzulhijjah. Oleh karena itu, barang siapa yang berpuasa pada hari kesembilan Dzulhijjah tetapi tidak bertepatan dengan hari ketika orang berwukuf di Arafah, maka dia tidak dianggap berpuasa pada hari Arafah yang dianjurkan dalam teks hadits tersebut.” (_Al-Lajnah Al-Dā`imah,_ lihat https://al-maktaba.org/book/31616/43864).
Adapun dalil yang menunjukkan keterkaitan puasa hari Arafah dengan aktivitas, yaitu aktivitas berwukufnya para jamaah haji di Padang Arafah, adalah hadis-hadis berikut ini:
Pertama, Rasulullah ﷺ bersabda :
يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ. قال الإمام البيهقي: هذا مرسل جيد ، أخرجه أبو داود في المراسيل) سنن البيهقي 5/176
“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya.” Imam Al-Baihaqi berkata,” Ini adalah hadis mursal yang baik (jayyid), yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marāsīl. (_Sunan Al-Baihaqi,_ Juz V, hlm.176).
Kedua, Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Juraih, dia berkata:
قُلْتُ لِعَطاَءٍ : رَجَلٌ حَجَّ أَوَّلَ ماَ حَجَّ فَأَخْطَأَ النَّاسُ بِيَوْمِ النَّحْرِ أَيُجْزِىءُ عَنْهُ ، قاَلَ : نَعَمْ إِيْ لِعَمْرِيْ إِنَّهاَ لَتُجْزِيءُ عَنْهُ . قاَلَ : وَأَحْسَبُهُ قاَلَ : قاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ ، وَأَضْحاَكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ . وَأَراَهُ قاَلَ : وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) سنن البيهقي 5/176
“Aku berkata kepada Atha’: Seorang lelaki berhaji untuk pertama kalinya tetapi orang-orang keliru sehari dalam hari Nahr (Iedul Adha), apakah sah hajinya? Dia berkata: Ya, demi Allah, hajinya sah. Dia berkata: Aku kira ia berkata: Nabi ﷺ berkata: Hari berbuka kalian adalah hari kalian berbuka, hari kurban kalian adalah hari kalian berkurban, dan –aku kira dia berkata- dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (Sunan Al-Baihaqi, Juz V, hlm.176).
Ketiga, dalam satu riwayat lain dari Imam Asy-Syafi’i, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ
“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).” (Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Juz I, hlm. 595).
Hadis-hadis ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas, yaitu aktivitas wukufnya para jamaah haji di Arafah. Perhatikan sabda Rasulullah ﷺ :
يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ
“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya,”
Dan perhatikan pula sabda Rasulullah SAW :
وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ
“Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah),”
Dan perhatikan pula sabda Rasulullah SAW :
وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ
“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).”
Semua hadis ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas, yaitu wukufnya para jamaah haji di Arafah.
Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi pendapat saya dan yang saya rajih-kan adalah bahwa puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal berikut secara bersamaan, yaitu : waktu, tempat, dan aktivitas.
Ini lebih mendekati pandangan kedua yang mengatakan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika orang berwukuf di Arafah menurut rukyah seluruh umat Islam di dunia secara umum, tanpa memperhatikan perbedaan mathla’ (ikhtilāf al-mathāli’). Dengan kata lain, puasa hari Arafah ini berdasarkan rukyah Amir Makkah secara khusus sebagaimana dalam Sunan Abu Dawud9V,⅞, nomor 2338 dari Husain bin Harits Al-Jadali RA, dia berkata :
أنَّ أَمِيْرَ مَكَّةَ خَطَبَ ، ثُمَّ قَالَ : عَهِدَ إلَيْنَا رَسُوْلُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤيَةَ ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
"Sesungguhnya Amir (Penguasa) Makkah berkhutbah, kemudian dia berkata,"Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan ‘ibadah (manasik haji) berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan beribadah (menjalankan manasik haji) berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Ad-Daraquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih." Lihat Sunan Ad-Daraquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud (2/54), "Hadis ini shahih").
Jadi, kita berpuasa Arafah itu acuannya adalah rukyat penguasa Makkah, yang bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, bukan berpuasa pada hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah menurut rukyah setiap-tiap negeri berdasarkan perbedaan mathla’ (ikhtilāf al-mathāli’). Wallāhu a'lam. []
Yogyakarta, 11 Dzulhijjah 1444 bertepatan dengan 29 Juni 2023
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer
(Diterjemahkan oleh hamba Allah dan diedit oleh penulis dengan sedikit tambahan pada hari Selasa 11 Juni 2024 bertepatan dengan tanggal 5 Dzulhijjah 1445 H).
= = =
Teks Asli (Bahasa Arab) :
صوم يوم عرفة مرتبط بالزمان أم بالمكان؟
بقلم : محمّد صدِّيق الجاوي
هناك اتجهان في هذه المسألة، أي في مسألة صوم يوم عرفة، هل هذا الصوم مرتبط بالزمان أم بالمكان؟ وهذان الاتجهان هما :
الاتجاه الأول: وهو ما اعتبره بعض العلماء مثل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله وهو أن العبرة برؤية أهل كل بلد مطلقا ولا التفات إلى اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة فإنما يشرع الصيام في اليوم التاسع من ذي الحجة بحسب كل بلد ولو لم يوافق اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة. وبالإختصار : صوم يوم عرفة مرتبط بالزمان لا بالمكان.
الاتجاه الثاني: وهو ما يقوله بعض العلماء مثل اللجنة الدائمة التي ترى أن العبرة في صوم يوم عرفة هو صيام الذي يجتمع الناس فيه بعرفة، والتي اعتبرت ظاهر الإضافة في النص، وإلى المعنى الذي شرع من أجله الصوم ورأت أن هذه المعاني أخص من اعتبار الرؤية في سائر الأحكام، والخاص يحمل معنى زائدا على العموم. وبالإختصار : صوم يوم عرفة مرتبط بالمكان لا بالزمان.
والذي أراه في هذه النازلة ، أن صوم يوم عرفة ليس مرتبطا بالزمان فقط، وليس مرتبطا بالمكان فقط، بل صوم يوم عرفة مرتبط بهذه الأمور الثلاثة جميعا : بزمان ومكان وفعل. الزمان هو التاسع من ذي الحجة.والمكان هو جبل عرفات.والفعل هو وقوف الحجاج في عرفات.
وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالزمان فقد ورد في الحديث الذي يدل على أن النبيﷺ كان يربط صوم يوم عرفة بالزمان وهو التاسع من ذي الحجة. روى الإمام النسائي بسند صحيح عن بعض أزواج النبيﷺ: «أن رسول اللهﷺ كان يصوم تسعا من ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر: أول اثنين من الشهر، وخَمِيسَيْن ».رواه النسائي في سنن النسائي: كتاب الصيام: باب كيف يصوم ثلاثة أيام من كل شهر…: (4/ 220).
قال الخرشي في شرحه لمختصر خليل عند قوله (…وعرفة وعاشوراء…): “ولم يرد بعرفة موضع الوقوف؛ بل أراد به زمنه وهو اليوم التاسع من ذي الحجة، وأراد بعاشوراء اليوم العاشر من المحرم”. (شرح مختصر خليل للخرشي ج 2 ص 234).
(https://islamanar.com/araffa-day/)
وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالمكان فهو واضح في قول النبي صلى الله عليه وسلم : ” صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ” رواه مسلم 1162. قالت اللجنة الدائمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ » فهو نصّ في إضافة الصوم إلى اليوم ولم يقل النبي صلى الله عليه وسلم « صِيَامُ يَوْمِ التَّاسِعُ »، مما يدل على أن المعتبر في صوم يوم عرفة هو اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة، وليس اليوم التاسع من ذي الحجة.
ولذلك من صام يوم التاسع من ذي الحجة ولم يكن يوافق اليوم الذي يجتمع الناس فيه بعرفة فإنه حينئذ لم يصم يوم عرفة الذي جاء النص بالحث عليه.
(https://al-maktaba.org/book/31616/43864)
وأما الدليل على ارتباط صوم يوم عرفة بالفعل، أي بوقوف الحجاج في عرفات، فهو الأحاديث الآتية :
ألأول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ) قال الإمام البيهقي: هذا مرسل جيد ، أخرجه أبو داود في المراسيل) سنن البيهقي 5/176.
الثاني : وروى الإمام البيهقي أيضاً بإسناده عن ابن جريح قال قلت لعطاء : رجل حج أول ما حج فأخطأ الناس بيوم النحر أيجزىء عنه ، قال : نعم إي لعمري إنها لتجزيء عنه . قال : و أحسبه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : فطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون . و أراه قال : وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) سنن البيهقي 5/176
الثالث : وفي رواية للشافعي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ ) مغني المحتاج 1/595
فهذه الأحاديث صريحة في أن صوم يوم عرفة مرتبط بالفعل, أي بوقوف الحجاج في عرفات. أنظر ما قاله رسول الله صلى الله عليه وسلم : يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرِّفُ النَّاسُ فِيْهِ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُوْنَ، فهو واضح أن صوم يوم عرفة مرتبط بوقوف الحجاج في عرفة.
وبناءً على ذلك، والذي أراه وأرجحه هو من يقول : صوم يوم عرفة مرتبط بالأمور الثلاثة جميعا : بزمان ومكان وفعل، وهو أقرب الى الاتجاه الثاني الذي يقول إن العبرة في صوم يوم عرفة هو صيام الذي يجتمع الناس فيه بعرفة حسب رؤية المسلمين جميعا في الدنيا دون اعتبار اختلاف المطالع على الوجه العموم، وحسب رؤية أمير مكة على الوجه الخصوص كما في سنن أبي داود برقم 2338 عن حسين بن الحارث الجدلي ، وليس الصيام في اليوم التاسع من ذي الحجة حسب رؤية أهل كل بلد باعتبار اختلاف المطالع.
والله تعالى أعلم.
جوكجاكارتا، 11 ذي الحجة 1444 الموافق 29 يونيو 2023
محمّد صدِّيق الجاوي
Sumber :
https://shiddiqaljawi.com/صوم-يوم-عرفة-مرتبط-بالزمان-أم-بالمكان؟