TintaSiyasi.id -- Negeri ini memiliki pemasokan energi yang melimpah. Tapi, pemerintah selalu memilih solusi alternatif yang membebani rakyat dengan cara-cara yang "klasik dan praktis" dengan memindahkan beban ekonomi negara kepada masyarakat.
Selain menaikan tarif Dasar Listrik (TDL) kepada rakyat, dilansir Bisnis.com (Kamis, 6/6/2024) belum lama ini terjadi blackout atau pemadaman listrik besar-besaran dengan durasi cukup lama di wilayah sebagian Pulau Sumatera. Sejak Selasa (4/6/2024) hingga Rabu (5/6/2024), aliran listrik mulai dari Aceh hingga Lampung mengalami pemadaman bergilir dengan durasi yang bervariasi, mulai dari 10 jam, bahkan ada yang hingga 24 jam. Kejadian ini menunjukkan lemahnya mitigasi dan pemeliharaan listrik. Padahal Listrik kebutuhan publik yang menjadi tanggungjawab negara.
Krisis yang terjadi di tubuh PLN yang seringkali menaikan TDL membuat rakyat semakin bertambah berat beban hidup yang ditanggung. Adakah intervensi dan tekanan asing dalam kasus ini?
Bukan menjadi rahasia lagi, sektor listrik diliberalkan, sehingga swasta (asing) bisa masuk disektor ini dengan bebas. Dan intervensi ini bukan hanya pada listriknya, tapi disektor energinya dalam bentuk proyek-proyek listrik yang tidak bisa lepas dari intervensi di sektor migas. Dan TDL tidak bisa lepas dari migas. Jadi, tatkala sektor migas diserahkan terlalu banyak ke asing, maka otomatis akan memperberat biaya pokok listrik. Belum lagi persoalan korupsi dan pengelolaan yang belum efisien di tubuh PLN.
Akar Masalah dan Solusi Menurut Islam
Akar permasalahannya tidak hanya sekedar apakah PLN sudah terbebas dari segala bentuk korupsi atau tidak. Termasuk juga apakah PLN sudah efisien dalam pengelolaannya atau belum. Tidak hanya sekedar itu. Persoalan yang mendasar adalah status PLN yang berbentuk PT dan berorientasi pada profit tersebut dapat dibenarkan atau tidak? Juga keberadaan listrik swasta, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Inilah titik persoalannya.
Untuk menjawab berbagai persoalan ekonomi, termasuk listrik, Islam terlebih dulu menentukan kejelasan status kepemilikan dari setiap harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Dalam pandangan Islam, harta kekayaan yang ada di muka bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman ekonomi kapitalisme. Di dalam Islam, status kepemilikan harta dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu:
Pertama. Kepemilikan individu: izin Asy-syari atas zat atau manfaat tertentu yang memungkinkan setiap orang untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi dari barang tersebut.
Kedua. Kepemilikan umum: izin Asy-syari kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda.
Ketiga. Kepemilikan negara: harta yang tidak termasuk kategori milik umum, namun terkait dengan hak kaum Muslim secara umum.
Dalam pandangan Islam sangat jelas , listrik termasuk ke dalam kepemilikan umum. Rasullullah SAW bersabda:
"Manusia itu berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, hutan, dan energi." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Atas dasar inilah Islam menetapkan negara yang mewakili rakyat untuk mengatur produksi dan distribusi energi dan tambang tersebut untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh memungut harga dari rakyat, karena energi dan tambang itu merupakan hak milik umum, yaitu hak milik rakyat itu sendiri. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi produksi dan distribusi barang-barang tersebut, bukan untuk mengeruk keuntungan dari rakyat.
Memberi kesempatan kepada swasta untuk menguasai komoditi listrik juga dapat dikategorikan sebagai pengabaian amanah yang diberikan rakyat kepada negara untuk mengelola listrik demi kepentingan seluruh rakyatnya. Padahal Allah SWT telah mengecam tindakan demikian sebagaimana firman-Nya di QS Al-Mukmin ayat 18.
Dan Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa saja yang merampas hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah maka ia nanti akan dikalungi tujuh lapis langit." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan perlu ditegaskan bahwa akad yang diberikan oleh negara kepada perusahaan swasta dalam pengelolaan energi, termasuk listrik, adalah akad kontrak kerja, bukan akad kontrak karya.
Oleh karena itu, peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, tercukupi dengan mudah dan murah, syukur-syukur bisa gratis. Itulah tugas utama Pemerintah. Wallahu a'lam. []
Oleh: Riyanti Muslim
Aktivis Muslimah Bogor