TintaSiyasi.id -- Berdasarkan laporan Majalah Tempo pada 14 April 2024, yang memuat soal bagaimana Menteri Investasi Bahlil Lahadia berkeras agar ormas keagamaan bisa mendapat izin usaha pertambangan khusus. Hal tersebut terwujud dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang berlaku mulai 30 Mei 2024. Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah memungkinkan badan usaha milik ormas keagamaan mendapat "penawaran prioritas" untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang selama ini diprioritaskan untuk badan usaha negara. Namun, aturan itu dikritisi oleh berbagai pihak lantaran dituding bermotif politik, dapat memicu konflik horizontal, hingga memperburuk kerusakan lingkungan akibat tambang. (www.bbc.com, 03/06/2024)
Kebijakan ini memang layak dikatakan tidak tepat, bahkan sangat berbahaya. Pasalnya, ormas memiliki tupoksi yang berbeda dengan perusahaan tambang. Hal ini akan berdampak pada disorientasi dan disfungsi kelembagaan. Melalui kebijakan ini, ormas yang seharusnya menjadi pengontrol penguasa dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, akan sibuk mencari keuntungan melalui pengelolaan tambang.
Di sisi lain, tambang pada hakikatnya merupakan milik umat. Kebijakan terbaru ini jelas semakin mengalihkan tanggung jawab negara dalam mengelola tambang kepada pihak lain, dalam hal ini adalah ormas. Padahal sebelumnya, negara telah banyak memberi izin pengelolaan berbagai jenis tambang negeri ini kepada pihak swasta, asing maupun aseng. Semua ini tidak lepas dari privatisasi SDA sebagai buah dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme.
Sistem ekonomi Kapitalisme, meniscayakan liberalisasi SDA oleh pihak swasta, sebab sistem ini menafikkan kepemilikan umum. Artinya, siapa saja yang memiliki modal, diberi peluang untuk mengelola SDA, termasuk ormas. Adanya izin pengelolaan tambang kepada ormas yang berujung disorientasi kelembagaan ini, sejatinya membuktikan buruknya sistem politik yang berjalan di negeri ini. Ormas bukanlah pihak yang berhak mengelola tambang, kebijakan ini diduga kuat sebagai balas budi politik. Peran ormas tertentu yang cukup besar dalam memenangkan salah satu paslon dalam pemilu, bisa mempengaruhi kebijakan penguasa terpilih.
Memang bagi-bagi kue kekuasaan bukan hal baru dalam sistem politik Demokrasi, sebab pemilihan wakil rakyat maupun kepala pemerintahan dalam sistem ini dibatasi pada partisipasi warga negara. Kebijakan tersebut jelas tidak berpihak kepada rakyat dan semakin menunjukkan lepasnya tanggung jawab negara mengurus dan melindungi rakyatnya. Tambang yang merupakan milik rakyat seolah diobral, padahal selama ini pengelolaan tambang ala kapitalis telah merampas ruang hidup masyarakat.
Berbeda dengan kehidupan yang diatur oleh sistem Islam. Kebijakan yang merugikan rakyat dan menguntungkan pihak tertentu, tidak akan terjadi dalam sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah. Dalam Islam, tambang berupa mineral, batubara maupun migas adalah bagian dari SDA yang merupakan milik umum. Islam mewajibkan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat semata. Sebab negara dalam Islam berperan sebagai raa'in (pengurus rakyat). Rasulullah SAW bersabda:
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)
Inilah fungsi negara yang harus berjalan di dalam Islam. Negara bukan pelayan korporasi ataupun ormas karena utang budi kekuasaan, sebagaimana dalam sistem kapitalisme-demokrasi, tetapi negara adalah pelayan rakyat. Oleh karena itu, Islam melarang negara menyerahkan pengelolaan harta milik umum, berupa tambang yang melimpah kepada pihak mana pun, baik swasta atau pun ormas. Hanya negara yang diberi wewenang untuk tugas ini. Pengelolaan tambang oleh negara tentu akan menguntungkan negara dan menyejahterakan rakyat.
Adapun keberadaan ormas dalam Khilafah (negara Islam) adalah sebagai bentuk kelompok kaum muslimin yang wajib ada. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 104, yang artinya:
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (TQS. Ali Imran: 104)
Imam Ath Thabari dalam tafsirnya juz 4 hal. 38 menjelaskan, aktivitas kelompok ini adalah menyeru kepada Islam, serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa tujuan keberadaan ormas dalam Khilafah secara umum adalah melakukan dakwah, amar makruf dan nahi mungkar. Namun lebih spesifik dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan ormas ini adalah untuk melakukan check-balance atau melakukan fungsi dan peran muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah fungsi dan peranan yang dimainkan oleh ormas dalam Khilafah. Pasalnya, jika penguasa dibiarkan terus-menerus berbuat kezaliman dan kerusakan, niscaya masyarakatnya pun rusak dan sengsara. Sungguh, hanya Khilafah yang mampu mengembalikan fungsi negara dan ormas sesuai dengan syariat Islam.
Wallahu a'lam bishshawab
Oleh: Sumariya
Aktivis Muslimah