TintaSiyasi.id -- Idul Adha yang jatuh pada hari Minggu, 16 Juni 2024 tahun ini memiliki akar historis yang agung dan tak akan pernah terulang yakni tentang sebuah ujian pengorbanan manusia yang melampaui batas-batas naluri kemanusiaan yakni saat nabiyullah Ibrahim a.s. harus mempertaruhkan naluri kepabakan dan kemanusiaan untuk menyembelih anaknya yang telah lama dinanti kelahirannya dan ketika rasa cinta itu sedang memuncak kepada anaknya Ismail as demi sebuah keimanan dan kenabian.
Sejarah agung tentang pengobanan ini diabadikan oleh Allah dalam Surat Asshofat ayat 102-109: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".
Apa susungguhnya tujuan Allah mengabadikan sejarah agung tentang ujian keimanan dan pengorbanan ini. Tidak lain agar kita yang hidup di kemudian hari mampu menjadikan guru kehidupan bagi sebuah kesadaran akan konsekuensi keimanan seorang muslim sekaligus bagaimana membangun harapan dan optimisme atas balasan kebaikan dari Allah bagi yang bersabar. Setidaknya kita bisa hikmah besar sebagai guru kehidupan dalam peristiwa Idul Adha ini yakni :
Pertama, berguru kepada Nabiyullah Ibrahim as tentang kekokohan keimanan dan konsekuensi yang harus dihadapi. Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita tentang totalitas ketaatan menjalankan perintah Allah sebagai konsekuensi keimanan, meskipun perintahnya itu terasa sangat berat. Menyembelih anaknya adalah perintah sekaligus ujian terberat untuk seorang manusia, namun karena itu adalah perintah Allah, maka dengan yakin Nabi Ibrahim melaksanakannya dan tidak memperdulikan syetan yang terus menggodanya.
Nabi Ibrahim sadar bahwa tujuan hidup hanyalah untuk beribadah kepada Allah semata-mata lillah untuk menggapai ridho Allah, lain itu tidak. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al An’am : 162). Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al Ankabut : 2).
Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita bahwa konsekuensi keimanan juga adalah kerelaan mengorbankan harta yang paling berharga dan terbaik kepada Allah. Jika diibaratkan harta, maka anak adalah harta yang tidak bisa dinilai harganya dengan uang sebanyak apapun. Jadi kita dikatakan beriman jika telah ikhlas mengorbankan harta yang paling baik, paling dicintai, dan paling berkualitas karena Allah akan menggantikannya dengan syurga dan kebahagiaan yang jauh lebih mahal.
Namun meskipun menyembelih Ismail adalah perintah Allah, namun Nabi Ibrahim tetap menanyakan bagaimana pendapat Ismail putranya. Dalam peristiwa ini Nabi Ibrahim mengajrkan kepada kita tentang prinsip-prinsip dan metode pendidikan keluarga kaitannya dengan fungsi seorang ayah. Kedudukan ayah dalam konteks pendidikan keluarga selain berfungsi sebagai pemimpin, juga berfungsi sebagai guru sekaligus sahabat bagi anak-anaknya. Sehingga ayah akan dicintai, dipercaya dan diikuti oleh anak-anaknya. Perisitiwa ini juga menunjukkan Nabi Ibrahim sedang mewariskan nilai-nilai aqidah kepada Ismail putranya sebagai upaya kaderisasi.
Kedua, kita bisa berguru kepada Nabiyullah Ismail as. Dalam peritiwa ini Nabi Ismail telah mengajarkan kepada kita tentang ketaatan kepada ayahnya sebagai pemimpin rumah tangga selama ayahnya taat kepada Allah dan memerintahkan perkara yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Bahkan Ismail rela menyerahkan raga dan nyawanya untuk menegakkan syariat Allah. Tidak ada ketaatan kepada manusia atau pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan Rasulnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59).
Untuk menegakkan dan memenangkan hukum-hukum Allah, nabi Ismail telah menjadi guru kehidupan kita dengan rela menjual nyawanya kepada Allah demi menggapai kemenangan syariat Islam.
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah : 111)
Digantikannya nabi Ismail dengan seekor domba yang bagus untuk disembelih adalah pelajaran hidup bahwa konsekuensi keimanan juga diwujudkan dengan selalu memperhatikan, mencintai dan memikirkan saudaranya yang tidak mampu dengan berbagi rizki agar turut bergembira merayakan Idul Adha. Tidaklah dikatakan beriman sebelum mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Kebahagiaan bukanlah ketika kita makan daging korban, kebahagiaan adalah ketika kita melihat saudara kita yang tidak mampu bisa ikut merasakan makan daging korban untuk merasakan kebahagiaan menyambut idhul adha, meskipun hanya setahun sekali.
Ya, meskipun hanya setahun sekali. Makan daging bagi kita yang mampu tidak ada hubungannya dengan iman. Memikirkan nasib dan mengupayakan kebahagiaan saudaranya yang tidak mampu untuk bisa makan daging adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Adalah dosa membiarkan tetangga atau saudara seiman dalam keadaan lapar dan miskin, sedangkan kita hidup mewah dan bersenang-senang.
Ketiga, moment idul adha ini kita bisa berguru pada lantunan Takbir yang menggema seantero dunia. Hakekat lantunan takbir adalah kesaksian seorang mukmin atas satu-satunya yang maha besar yakni Allah sang pencipta dan yang lain kecil. Mengakui kemahabesaran Allah adalah konsekuensi keimanan. Mengakui kebesaran Allah bukan hanya sebatas lisan melainkan juga berupa perbuatan yakni hanya menyembah yang maha besar dan meninggalkan semua bentuk sesembahan selain Allah.
Semua makhluk dan aturan hukum selain Allah yang disembah manusia dinamakan thoghut. Dengan demikian berguru pada lantunan takbir berarti hanya kepada Allah yang maha besar yang berhak disembah dan diagungkan serta meninggalkan semua bentuk sesembahan baik makhluk, harta benda maupun sistem aturan yang bertentangan dengan hukum Allah.
Hal ini berkaitan juga dengan larangan menjadikan thoghut atau orang-orang kafir sebagai pemimpin bagi orang beriman. Karenanya menjadi aneh jika kita mengaku beriman kepada Allah disatu sisi, namun tetap menjalankan hukum thoghut di sisi lain. sejalan dengan orang seperti ini Allah berfirman :
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An Nisaa : 60)
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al Ahzab : 1)
Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung. (QS Al Ahzab : 48)
Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka. (QS Al Insan : 24).
Keempat, momen idul adha sebagai guru kehidupan, kita bisa berguru pada peristiwa Haji. Haji adalah moment besar pertemuan umat Islam didunia menuju satu titik yakni ka’bah dalam rangka menyambut panggilan Allah dengan meninggalkan seluruh ikatan atribut primordialisme ashobiyah seperti negara, partai, suku, warna kulit, bahasa menuju satu ikatan aqidah islamiyah. Dalam pandangan aqidah sesungguhnya semua orang beriman adalah saudara.
Persatuan seluruh umat Islam di dunia dalam ikatan aqidah adalah konsekuensi keimanan dan ibadah haji telah mengajarkan nilai persatuan atas nama iman ini dalam satu wadah ibadah haji. Konsekuensi keimanan adalah menjadikan aqidah Islam sebagai tali pengikat persaudaraan dengan melepas semua ikatan dan identitas ashobiyah.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Ali Imran : 103)
Ibadah haji adalah semacam wadah spiritual yang hanya bersifat ritualistik yang hanya setahun sekali. Selain hanya setahun sekali, ibadah haji juga hanya mempertemukan 2 sampai 3 juta kaum muslimin. Padahal umat Islam diseluruh dunia yang seharusnya terikat sebagai saudara berdasarkan tali aqidah sebanyak 1,9 milyar. Karenanya diperlukan wadah yang tidak hanya spiritualistik melainkan juga politis, tidak hanya menjangkau sebagian kecil umat namun menjangkau seluruh umat islam di dunia, dan tidak hanya setahun sekali namun selama-lamanya. Menyatukan umat islam di seluruh dunia tidak cukup dengan ibadah haji yang simbolik, temporal dan ritualistic. Diperlukan wadah yang hakiki, abadi dan politis. Itulah mengapa Rasulullah mendirkan daulah madinah untuk mengikat dan menyatukan kaum Muslim di seluruh dunia diatas landasan aqidah Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Hari ini umat Islam terpecah belah menjadi ribuan ikatan ashobiyah di seluruh dunia, karenanya untuk menyatukan kembali diperlukan wadah dan kepemimpinan umat ini. Terpecah belahnya umat Islam dalam ikatan nasionalisme inilah yang menyulitkan upaya kemerdekaan Palestina dari penjajahan entitas yahudi lamnatullah. Palestina bisa terbebas dari belengggu penjajahan entitas yahudi yang didukung penuh oleh amerika jika negeri-negeri muslim bersatu melawannya dengan mengumandangkan jihad fi sabilillah.
Diperlukan sebuah daulah Islam dibawah satu kepemimpinan imam. Dengan demikian upaya menyatukan kembali umat islam di seluruh dunia dalam wadah daulah dan dibawah satu kepemimpinan adalah konsekuensi iman. Ibadah haji telah mengajarkan kita untuk dijadikan ibrah dan inspirasi perjuangan menyatukan umat islam seluruh dunia. Optimisme masa depan Palestina akan terwujud jika umat Islam bersatu padu. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Umat Islam yang secara normatif merupakan umat terbaik, kuntum khoiru ummatin dan secara historis pernah mencapai puncak kejayaan dan masa-masa keemasan, namun kini secara empirik umat islam justru tengah mengalami puncak kemunduran dan keterpurukan di hampir semua aspek kehidupan. Umat Islam secara internal kini mengalami kemiskinan harta dan ilmu, keterbelakangan sains dan teknologi, perpecahan dalam berbagai wadah organisasi dan negara.
Adapun secara eksternal umat islam diberbagai negeri oleh negara-negara Barat mengalami diskriminasi, dituduh sebagai teroris, diadu domba dari karena perbedaan negara, partai hingga hanya beda sekolah hingga mengakibatkan bentrok sosial hingga tawuran pelajar, umat Islam juga dijajah dari penjajahan budaya dan ilmu hingga pengurasan sumber daya alam oleh negara-negara Barat imperialis seperti Amerika serikat.
Allah telah mengingatkan kepada kita bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah ridho kepada kaum muslimin : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al Baqarah : 120).
Jika diperumpamakan antara orang-orang kafir dengan orang-orang islam ibarah segerobolan harimau yang kompak dan kuat menyerang seekor rusa kurus dan sakit. Seekor rusa yang sakit dan kurus tak akan pernah mampu melawan apalagi mengalahkan segerombolan harimau yang kuat dan bersatu. Bagaimana pula, umat Islam yang tengah sakit, miskin dan terpecah belah harus melawan negara-negara Barat yang kuat dan bersatu dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Andai daulah islam pimpinan Rasulullah masih berdiri, maka umat Islam tak mungkin terhina dan lemah seperti hari ini.
Andai daulah islam pimpinan Rasulullah masih tegak berdiri tentu Rasulullah telah mampu mengalahkan kepongahan negara-negara barat penjajah dengan jihad melawan mereka. Andai daulah islam pimpinan Rasulullah masih tegak berdiri tentu umat tak akan merasakan kemiskinan namun akan merasakan kesejahteraan dan kemakmuran.
Namun sejarah hadir bukan untuk dijadikan bahan nostalgia. Sejarah hadir untuk dijadikan ibrah untuk kembali bangkit mengembalikan kejayaan islam yang telah lama hilang. Bahkan umat Islam telah banyak yang lupa bahwa mereka pernah memiliki negara adidaya selama lebih dari seribu tahun. Sejarah hadir untuk menyadarkan kembali umat untuk mencari kembali kejayaannya yang hilang.
Memperbaiki keterpurukan umat dan menegakkan daulah islam adalah fardhu kifayah. Selama tidak ada yang berusaha dan berjuang dengan dakwah, maka umat akan medapatkan dosa kolektif. Selama daulah islam belum tegak, maka umat islam terkena dosa investasi. Dakwah menyadarkan umat akan pentingnya perjuangan menegakkan syariah dan daulah demi kesejahteraan dan kemerdekaan umat islam di seluruh dunia adalah upaya untuk menghapus dosa investasi tersebut. Perjuangan membutuhkan proses yang panjang, adapaun kemenangan dan kejayaan umat adalah semata-mata karena pertolongan Allah. Maka janji Allah barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolong orang tersebut.
Memperbaiki nasib umat fardhu kifayah dakwah menggugurkan dosa investasi. Perjuangan bagi tegaknya kembali Daulah Islam yang akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persatuan umat jelas memerlukan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan. Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang memang sekilas tampak sulit itu akan menemukan hasilnya tidak lama lagi di masa mendatang.
Semoga kita termasuk orang yang diberikan kekuatan untuk istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah dan daulah dalam kehidupan. Persatuan umat seluruh dunia akan menjadi kekuatan besar untuk membebaskan negeri-negeri muslim yang kini terjajah dan terzolimi, khususnya Palestina, dengan izin Allah. Masa depan Palestina ada di tangan umat, bukan PBB, perjuangan kemerdekaan itu harus datang dari umat Islam sendiri. Hasbunal-Lâh wa ni’mal wakil nikmal maula wa ni’kman nashiir, laa haula wala quuwata illa billah. []
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,14/6/24 : 10.05 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa