TintaSiyasi.id -- Makna Haji Mabrur
Allah SWT telah menetapkan ibadah haji sebagai fardu ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan mampu. Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali ‘Imran [03]: 97). Nabi SAW bersabda, “Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim).
Dari sisi bahasa, mabrur adalah isim maf’ul dari akar kata al-birr. Al-birr artinya ‘kebaikan atau kebajikan’. Dengan demikian, al-hajj al-mabrur artinya ‘haji yang diberikan kebaikan dan kebajikan’. Jadi, haji mabrur menurut bahasa adalah ‘haji yang baik atau yang diterima oleh Allah Taala’.
Adapun secara istilah syar’i, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Hal itu dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, wajib dan adabnya, serta menghindari hal-hal yang dilarang dengan penuh konsentrasi dan penghayatan semata-mata atas dorongan iman dan mengharap rida Allah Taala. Dengan ungkapan lain, haji mabrur adalah haji yang mendorong pelakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Balasan bagi haji mabrur adalah surga sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” (HR An-Nasa’i).
—
Secara lebih terperinci, haji mabrur dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri kemaksiatan karena kata “almabrur” dapat dimaknai dengan ‘ketaatan’. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan penuh ketaatan sehingga tidak tercampur dengan dosa. Ini adalah pendapat Imam An-Nawawi sebagaimana dikutip oleh Imam As-Suyuthi sebagai berikut, “Imam An-Nawawi berkata terkait makna hadis, ‘Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga,’ adalah bahwa ganjaran bagi orang dengan haji mabrur tidak hanya sebatas penghapusan sebagian dosa. Mabrur itu yang mengharuskan ia masuk surga. Imam An-Nawawi berkata, ‘Yang paling sahih dan masyhur adalah bahwa haji mabrur yang bersih dari dosa itu diambil dari al-birr (kebaikan), yaitu ketaatan.’”[1]
Kedua, haji mabrur adalah haji yang makbul (diterima) dan dibalas dengan al-birr (kebaikan), yaitu pahala. Sedangkan bukti bahwa haji seseorang itu makbul atau mabrur adalah ia kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi perbuatan maksiat. Argumentasi tersebut dapat dilacak dari penukilan sebagai berikut, “Ada pendapat yang mengatakan, ‘Haji mabrur adalah haji yang diterima yang dibalas dengan kebaikan yaitu pahala. Sedangkan pertanda diterimanya haji seseorang adalah kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi melakukan kemaksiatan.’”[2]
Ketiga, haji mabrur adalah haji yang tidak ada unsur riya’ di dalamnya dan tidak diiringi kemaksiatan. Jika kita cermati dengan seksama maka pendapat ini pada dasarnya sudah tercakup dalam pendapat sebelumnya. Imam As-Suyuthi menjelaskan, “Ada ulama yang mengatakan haji mabrur adalah haji yang tidak ada unsur riya’ di dalamnya. Ada lagi ulama yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah yang tidak diiringi dengan kemaksiatan. Kedua pandangan ini masuk ke dalam kategori pandangan sebelumnya.”[3]
Antara pendapat satu dan yang lainnya pada dasarnya saling terkait. Intinya haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan berbagai ketentuannya. Demikian sebagaimana disimpulkan al-Qurthubi dalam penjelasan sebagai berikut, “Imam Al-Qurthubi berkata, ‘Bahwa berbagai pendapat tentang penjelasan haji mabrur yang telah dikemukakan itu saling berdekatan. Kesimpulannya haji mabrur adalah haji yang dipenuhi seluruh ketentuannya dan dijalankan dengan sesempurna mungkin oleh pelakunya (mukalaf) sebagaimana yang dituntut darinya.’”[4]
Ciri-Ciri Haji Mabrur
Predikat mabrur memang hak prerogatif Allah SWT kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi, seseorang yang dapat meraih haji mabrur tentu memiliki ciri-ciri tersendiri. Rasulullah SAW pernah memberikan ciri-ciri bagi setiap orang yang mendapatkan predikat haji mabrur.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya disebutkan bahwa para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?” Rasulullah saw. menjawab, “Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.” (HR Ahmad).
Hadis ini sebenarnya dianggap munkar syibhul maudhu’ oleh Abu Hatim dalam kitab Ilal ibn Hatim, tetapi ada riwayat lain yang marfu’ dan memiliki beberapa syawahid (riwayat lain yang menguatkan). Adapun Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak mengatakan shahih isnad, meskipun imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.
Imam Badrudin al-Aini dalam Umdah al-Qari menyebutkan, “Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadis ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.”[5]
Berpijak pada contoh haji mabrur sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas, ciri haji mabrur dapat dikembangkan lagi mencakup berbagi bentuk ketaatan dan akhlak yang mulia sebagai berikut:
Pertama. Makin taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, yang artinya menjalankan hukum dan ketentuan-Nya sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunah; kedua. Bertambah baik akhlaknya; ketiga. Makin mencintai ilmu dan majelis ilmu; keempat. Makin baik dalam menjaga amanah; kelima. Makin dermawan dan menolong sesama; keenam. Menyambung kembali silaturahmi; dan ketujuh. Makin semangat dalam berdakwah.
Haji Wadak dan Semangat Persatuan
Khotbah Haji Wadak (حجة الوداع atau perpisahan, ed.) Rasulullah adalah momen penting dalam memberikan arahan kepada umat Islam. Aspek politik pada khotbah tersebut sangat dominan, karena menyangkut kepentingan bersama umat Islam dan terkait urusan umat Islam di dalam dan luar negeri.
Di antara khotbah Rasulullah adalah pesan kesatuan berdasarkan mabda Islam dan ukhuah islamiah. Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Ingatlah tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, dan bagi orang non-Arab atas orang Arab, tidak bagi orang berkulit merah atas kulit hitam, dan bagi orang berkulit hitam atas kulit merah, kecuali ketakwaannya.” (HR Ahmad).
Hadis tersebut dengan tegas menetapkan bahwa rasisme hukumnya haram. Melakukan rasisme adalah hal yang tidak sesuai dengan fitrah manusia; merendahkan, meremehkan, hingga menghina orang lain karena beda suku dan warna kulit. Membangun ikatan umat atas dasar ras dan suku juga tidak boleh, di samping hal itu merupakan ikatan yang rapuh.
Akumulasi dari ikatan sukuisme adalah nasionalisme. Ikatan sukuisme dan nasionalisme adalah ikatan yang emosional, bukan ikatan yang didasarkan pada sebuah akidah rasional yang memancarkan sistem. Islam menetapkan bahwa ikatan yang kukuh adalah ikatan mabda Islam, yaitu dilandasi akidah Islam yang melahirkan sistem kehidupan.
Haji dan Perubahan Sosial dan Politik
Ibadah haji menyimpan potensi besar dalam perubahan sosial dan politik, yaitu persatuan dan ketaatan. Keduanya adalah modal kebangkitan dan perubahan sosial dan politik ke arah Islam.
Pertama, ibadah haji adalah simbol persatuan hakiki. Ibadah haji adalah simbol tauhid. Di dalamnya ada penegasan Allah Swt. dan penafian sekutu bagi-Nya. Selama ibadah haji, para jamaah senantiasa mengumandangkan kalimat talbiah yang berisi seruan tauhid. Kalimat talbiah juga berisi pengakuan bahwa seluruh kekuasaan hanya milik-Nya semata. Tidak ada pemilik yang hakiki selain Allah Swt.[6]
“Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Sungguh segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Ibadah haji adalah tempat sekaligus momen meleburnya jutaan muslim dari segenap penjuru dunia. Tidak memandang suku bangsa, bahasa, warna kulit, dan strata. Mereka berkumpul di Padang Arafah, di Mina, lalu melaksanakan tawaf dan sai, dsb. secara bersama-sama. Inilah sebagian kegemilangan ajaran Islam yang mampu mengikat manusia dalam satu ikatan, yakni akidah Islam.
Kedua, ibadah haji adalah ibadah yang menunjukkan ketaatan dan pengorbanan. Hanya mereka yang kuat tekadnya yang mau berkorban untuk berhaji. Sebaliknya, mereka yang lemah keyakinan tak akan pernah mau melakukan ibadah haji sekalipun punya kelapangan rezeki dan sehat raganya.
Dalam hadis qudsi, Allah Swt. mengancam siapa saja yang mampu tetapi menunda-nunda berhaji dengan ancaman yang keras, sebagai berikut, “Sungguh seorang hamba yang telah Aku sehatkan badannya, Aku lapangkan penghidupannya, lalu berlalu masa lima tahun, sementara ia tidak mendatangi-Ku (ibadah haji), ia orang yang benar-benar terhalang.” (HR Al-Baihaqi).
Peran Sosial Politik para Haji dalam Lintasan Sejarah Indonesia
Haji merupakan salah satu nilai historis yang mempunyai peranan penting dalam perubahan sosial, ekonomi, politik, maupun aspek pendidikan di Nusantara khususnya masa pergerakan nasional dalam kurun waktu 1900—1942.[7]
Fakta sejarah menunjukkan bahwa haji telah mempengaruhi sikap pemerintah Hindia Belanda dalam penerapan politik kolonialisasinya. Belanda memandang masalah tersebut sebagai ibadah yang sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Haji menjadi ibadah yang ditakuti sehingga harus dilarang dan dihalangi. Melalui konsulnya di Jeddah, pemerintah Belanda berupaya selalu mengawasi kegiatan mereka yang pergi ke tanah suci yang berasal dari Hindia Belanda.[8]
Ibadah haji ini memberi dampak yang sangat penting bagi jamaah haji Indonesia karena selain belajar ilmu agama dari Timur Tengah, juga menambah ilmu tentang perpolitikan untuk mengusir penjajah dari tanah airnya. Para jamaah haji ini pada awalnya, yaitu abad ke-17 dan abad ke-18, belum berperan dalam perlawanan terhadap penjajah, kecuali Syekh Yusuf Makassar, yang sepulang dari Haramain ikut berperang di pihak Sultan Ageng melawan Sultan Haji yang dibantu Belanda.[9]
Pengaruh para haji pada awal abad ke-20 telah melahirkan sikap dan pemikiran politik yang lambat laun menjadi organisasi politik. Umat Islam ketika selesai melakukan ibadah haji, lalu belajar di Kairo. Mereka membawa berbagai pemikiran politik yang mereka dapatkan dari belajar di Mesir ke Tanah Air. Para haji melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda dengan spirit Islam.
Awal mula kemunculan organisasi politik Islam yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah partai politik Islam memang tidak bisa dilepaskan dari peran haji yang pada waktu itu membentuk berbagai organisasi yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan. Sarekat Islam (SI) kemudian berubah menjadi PSII, pada awalnya berkembang dari sebuah organisasi yang bernama SDI (Sarekat Dagang Islam). Sebagian haji juga bergerak dalam organisasi pendidikan, seperti organisasi Sumatra Thawalib yang kemudian bertransformasi menjadi Permi (Persatuan Muslim Indonesia). Permi merupakan pelopor perjuangan politik yang mengedepankan pemikiran intelektual yang bergerak melalui pendidikan.
Contoh lainnya adalah para ulama di Aceh yang telah lama tinggal di Makkah dan pulang ke Aceh turut berkontribusi dalam Perang Sabil (1873—1912). Para haji yang terlibat dalam perang ini menyatakan perlawanan dalam upayanya menentang agresi Belanda ke Serambi. Selain itu karena agresi ini dilakukan oleh Belanda yang kafir dan pantas dijawab dengan perang di bawah panji Islam.
Penutup
Demikianlah seharusnya kemabruran dalam haji mampu memberikan dampak pada individu sehingga menjadi lebih taat, juga berdampak secara sosial politik dalam perubahan sosial dan politik untuk kebaikan negeri ini.
Saat ini, berbagai kerusakan terjadi dalam berbagai sektor kehidupan akibat kerusakan sistem kapitalisme dan keserakahan para oligarki yang menguasai sektor strategis di negeri ini. Sebagaimana dahulu, dengan semangat ketaatan, semestinya para haji mampu memobilisasi kekuatan untuk menentang kolonialisme modern hari ini yang berwujud dalam penjajahan politik dan ekonomi.
Dengan menyerap pesan khotbah Haji Wadak Rasulullah, para haji sudah selayaknya berkontribusi dalam usaha transformasi kepemimpinan Indonesia menuju penerapan syariat Islam secara kafah. []
Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
Sumber artikel: https://t.me/yuanaryantresna/1367
[1] Lihat Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh al-Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz 5, hlm. 112.
[2] Lihat Jalaluddin as-Suyuthi, hlm. 112.
[3] Lihat Jalaluddin as-Suyuthi, hlm. 112.
[4] Lihat Jalaluddin as-Suyuthi, hlm. 112.
[5] Lihat Badrudin al-Aini, Umdah al-Qari, juz 9, hlm. 135.
[6] Lihat Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar Tahzib Sunan, juz 2, hlm. 335—339.
[7] Lihat Eka Yudha Wibowo, Pengaruh haji terhadap Politik Islam di Indonesia, Thaqafiyya Vol. 16, No. 1, Juni 2015, hlm. 34.
[8] Lihat Eka Yudha Wibowo, Pengaruh haji terhadap Politik Islam di Indonesia, hlm. 50.
[9] Lihat M.S. Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm. 262 Makkah.