TintaSiyasi.id -- Fenomena UKT di Negeriku
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting sebagai usaha mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Seperti yang dikatakan Vladimir Lenin bahwa instrumen terbaik untuk mengubah nasib suatu bangsa adalah melalui pendidikan. Bahkan kemajuan atau kemunduran sebuah peradaban sangat dipengaruhi oleh pendidikan.
Beberapa perguruan tinggi (PT) ternama di Indonesia kembali menetapkan kenaikan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Instruksi (IPI) yang memicu perdebatan. Mahasiswa di berbagai PT melakukan protes keras karena kebijakan tersebut dinilai sangat memberatkan.
Pasalnya, Kenaikan UKT ini tidak diikuti dengan kemajuan ekonomi dari pihak mahasiswa atau pihak keluarga sehingga memberikan dampak buruk tidak hanya di sektor ekonomi keluarga, namun juga berdampak pada mental dan fisik mahasiswa.
Besaran UKT memang ditetapkan secara bertingkat, disesuaikan dengan kondisi perekonomian keluarga mahasiswa. Realitanya banyak terjadi ketidaksesuaian seperti salah sasaran dalam menentukan besaran, keadaan ekonomi lemah namun UKT yang didapat tinggi juga fenomena biasa.
Penyebab UKT Menjulang dan Dampaknya
Jika ditelusuri, akar masalah dari mahalnya biaya kuliah ternyata berawal dari kebijakan pemberian otonomi kampus yang makin besar pada tahun 2012. Pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur perubahan status PTN menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH).
Sebelum adanya aturan tersebut, biaya PTN di cover oleh pemerintah sehingga dapat menekan biaya UKT. Namun, ketika berubah menjadi PTN-BH, kampus dapat mengelola keuangannya sendiri salah satunya dengan memainkan kursi penerimaan mahasiswa, ataupun menaikkan besaran UKT.
Diksi “otonomi” yang ada pada kebijakan PTN-BH ini memang seakan menggiurkan. Sebagai PTN-BH, kampus bisa berkreasi memajukan dirinya tanpa ada Batasan aturan, dapat mengelola dana sendiri serta diberi wewenang atas pengembangan usaha dan dana abadi. Kampus juga diberi wewenang untuk menentukan tarif biaya pendidikannya.
Sayangnya, apakah kebijakan tersebut mengundang kemudahan bagi pelajar? Kewenangan besar dan otonomi luas yang diberikan pemerintah kepada institusi pendidikan ini nyatanya memicu banyak masalah. Penyelenggaraan Pendidikan serasa makin belok arah. Aroma bisnis dan komersialisasi di lembaga pendidikan ini makin menyeruak ke permukaan. Menciptakan tujuan Pendidikan yang salah arah. Mahasiswa pun belajar hanya sekedar untuk balik modal.
Hal tersebut dapat memicu turunnya kualitas intelektual generasi muda karena lingkungan sekitarnya sudah penuh akan komersialisasi.
Kaum terpelajar akhirnya berlari untuk menggapai gelarnya tidak lain agar dapat diserap pasar. Nilai- nilai tri dharma perguruan tinggi yang mendorong mahasiswa dalam mengembangkan ilmunya terutama bagi kebermanfaatan masyarakat menjadi kabur seolah itu hanya formalitas belaka.
Komersialisasi pendidikan tidak hanya melahirkan praktik pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga menjadi eksklusif karena hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu yang mempunyai dukungan dana.
Buruknya praktik komersialisasi Pendidikan ini, dipicu dari berbagai aspek. Mulai dari sistem ekonomi, kebijakan pemerintah, serta pandangan masyarakat.
Oleh karena itu , untuk mewujudkan Pendidikan yang ideal dalam membangun bangsa, negara harus bertanggung jawab atas pendanaan, sarana prasarana, dan semua instrumen pendidikan yang dibutuhkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan dan para pelaksananya bisa benar-benar fokus mewujudkan tujuan pendidikan yang mulia tanpa harus dipusingkan dengan urusan dana. Bukanlah sebuah praktek berlepas tanggan oleh pemerintah terhadap rakyatnya. pendidikan itu harus berpihak ke kepentingan rakyat. Dan ini merupakan suatu kezaliman besar terhadap bangsa ini.
Dosis Biaya UKT Terus Naik
Ironisnya, naiknya biaya pendidikan tidak seiring dengan meningkatnya gaji/pendapatan sebagian besar orang tua. Data dari Kompas menyebutkan bahwa rata-rata kenaikan biaya pendidikan per tahunnya sekitar 15—20%, sedangkan peningkatan penghasilan masyarakat Indonesia hanya sekitar 5,3%.
Ini menyebabkan banyak orang tua tidak mampu menutupi biaya pendidikan tinggi sang anak. Sedangkan makin sulit mengakses pendidikan, makin menjauhkan Indonesia menjadi negara besar pada 2045. Harapan Indonesia Emas 2045 bisa tinggal harapan semata.
Biaya Kuliah Besar namun Lapangan Kerja Sedikit
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk usia muda yang tidak punya kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) pada 2023 mencapai hampir 10 juta. Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal dikhawatirkan bisa menambah jumlah anak muda pengangguran ini.
Sebelumnya, banyaknya anak muda di Indonesia yang tidak bekerja atau sekolah terpotret dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS). BPS melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan (NEET). Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda.
Kebanyakan dari mereka adalah Gen Z yang harusnya tengah di masa produktif. Gen Z merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang berusia 12-27 tahun. Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang berstatus NEET di Indonesia mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.
Tata Kelola Pendidikan dalam Sistem Islam
Mengutip mediaumat[dot]id, Direktur IJM Agung Wisnuwardana menjelaskan mengenai tata kelola pendidikan tinggi dalam khilafah.
Pertama, pelayanan pendidikan steril dari unsur komersial. Negara wajib menjamin setiap individu warga negara untuk mendapatkan pendidikan gratis serta berkualitas. Ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap Muslim yang pemenuhannya dilakukan oleh negara.
Kedua, khalifah bertanggung jawab penuh memberikan pelayanan dalam pendidikan. Negara tidak dibenarkan melakukan langkah politik yang mengakibatkan peran Khalifah tereduksi sebatas regulator belaka.
Ketiga, strategi pelayanan mengacu pada tiga aspek, yakni kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional. Jika demikian, orang tua dan mahasiswa tidak akan diberatkan dengan dengan beban biaya pendidikan setinggi langit. Ini karena Islam mengambil prinsip pelayanan tidak akan mengomersialisasikan pendidikan.
Keempat, adanya anggaran negara untuk pendidikan. Khalifah memiliki anggaran yang memadai untuk pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas bagi setiap warga negara. Jika kebutuhan masyarakat tidak dipenuhi, bisa mengakibatkan kemudaratan. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh membuat mudarat (bahaya) pada diri sendiri, tidak boleh pula membuat mudarat pada orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Kelima, amanah dalam mengelola keuangan. Dalam sebuah hadis dikatakan, ” … maka demi Allah, tidaklah salah seorang kalian mengambil darinya (hadiah) sesuatu pun tanpa hak melainkan ia akan datang dengan membawanya pada hari kiamat.” (HR Bukhari). []
Oleh: Putri Rahmi DE, SST
Tenaga Pendidik